Rabu, 23 Juni 2010

Signal-Signal Cinta

Syukur Alhamdulillah, Allah SWT masih memberikan aku ijin untuk melihat fajar kadib pagi ini. Dalam setengah sadarku aku berjalan menuju tempat wudlu. Kujalani laporan pertamaku hari ini. Tak cukup sampai disitu, ku ikuti sekalian kajian tematik pagi ini. Tema bahasannya adalah solawat. Ustadz mulai berkoar-koar dengan semangat kemerdekaan ideology, seolah dia baru diangkat menjadi Rosul kemaren sore.
Selesai kajian aku kembali ke kamar. Teman sekamarku masih dikamar, dia tidak ikut kajian. Seperti biasa, alasannya beda prinsip. Aneh memang hidup ini, prinsip itu harusnya menguatkan ukhuwah , bukan mem-partisi kelompok atau bahkan mendistorsi definisi-definisi ritus agamis, tapi apalah guna teori kalau fakta lapangan memang ber-negasi. Hasil kajian itu menjadi kutu di otakku, semakin gatal rasanya kala aku memikirkan ulang. Timbul pertanyaan jail dari otakku “kenapakah kita harus bersolawat untuk beliau, padahal Kanjeng Nabi itu sudah pasti masuk surga..”

“Wah.. percuma kau ikut kajian, kenapa tidak kau tanyakan ke ustadz culun tadi..”

“kalau tanda tanya besar ini barusan adanya, tadi masih jadi gelas kosong yang siap diisi.. nah sekarang aku jadi lilin yang harus dinyalakan…”

“analogi sederhananya gini, Kanjeng Nabi itu bagaikan gelas kecil yang penuh dengan air, gelas itu diletakkan di tengah ember kosong. Saat gelas kecil itu terus diisi air, pasti akan amber. Air yang meluap itu pasti jatunya ke ember. Taukah kau.. ember itu adalah kita ini, dan cara mengisi gelas tidak ada lain kecuali dengan solawat..”

“mantep juga logikamu… kalau begitu aku g’ usah bersolawat saja..”

“lo.. kau tak mau dapat air luapan dari gelas ta…”

“katamu tadi, gelasnya penuh.. kalau memang penuh, sekalipun diisi dengan satu tetes pasti akan amber to.. luapannya pasti dibagi rata di dasar ember... Katanya anak-anak kader fisika, itu ma udah menjadi fitrah dari benda cair.. iya to..”

“ealaaah… Kang Athan - Kang Athan wong edan kowe iki… ada saja celah ikhtilaf-nya... lah terus menurutmu piye..”

“solawat itu antenna penangkap signal-signal cinta dari Kanjeng Nabi… he.. he..”

“we… e… puitisnya mulai… trus hubungnnya piye…”

“dimana-mana kalau ingin mendapat banyak signal cara yang paling top markotop adalah memperbanyak, mempertinggi, atau meningkatkan kualitas antenna... yo opo ora.. nah.. solawat itulah antenna… meski Kanjeng Nabi sudah wafat jasadnya, tapi cintanya masih bertebaran dimana-mana, cinta itu salah satunya do’a Kanjeng Nabi untuk umatnya. Orang yang bersolawat untuk Kanjeng Nabi, ia akan menangkap signal- signal cinta itu…”

“berarti yang banyak pasang antenna pasti dapat banyak signal cinta.. gitu yo… sepakat aku.. jadi adil g’ koyok luapan air tadi...”

“dan yang paling penting adalah antennanya… karena sering terjadi iftirokh hingga menyebabkan firqoh-firqoh gara-gara antenna ini… Kalau di iklan-iklan antenna yang bagus itu kan yang lima jari, tapi empat jari atau tiga jari juga bisa menangkap signal… Cuma mungkin tidak sekuat yang lima jari, jadi antenna tiga, empat, dua atau bahkan satu jari itu bukan bid’ah syar’i… hal substansial adalah eksistensi antenna itu sendiri, asal masih antenna pasti bisa menangkap signal”

“ancene… logikamu mantep tenan... gedabruss mode on…”

“zzzzz… okhrr…okhrrr…. ooookhrrr”

“jan akeh tenan kebo kaki loro di dunia ini……”

Sekejab pikiranku buyar brantah gara-gara terdengar suara dengkuran yang keras dari orang idealis premordial di sampingku ini. Sedang aku masih berdiri sendiri melihat diriku di depan kaca dan aku tersenyum puas.


Malang, 5 Februari 2008

0 komentar:

Posting Komentar