Rabu, 23 Juni 2010

Kreatif > Kere Aktif

Panas sekali udara hari ini, ditambah lagi panas pula otakku. Lebih baik aku cari sedikit hiburan. Tapi hiburan apa. Mau ke bioskop g’ ada uang. Mau ke Matos nanti dikira mahasiswa yang murtad dari idealisme. Sejenak berjalan ke belakang, dan aku melihat TV tua dengan antena yang kontra teknilogi. Tak ada rotan akar pun jadi. Ya.. mungkin dengan nonton TV itu cukup sebagai hiburan. Ku nyalakan TV dan yang muncul adalah siaran berita. Mengabarkan tentang orang kaya baru.
Pembawa berita mulai nyerocos.
“Si Joko, orang kaya baru. Dia bukanlah sarjana muda, bahkan mimpi untuk jadi sarjana saja tidak. Lalu apa yang bisa membuat dia sukses. Ternyata dia mampu mengolah sampah plastik menjadi tas dan dompet yang unik. Pasarannya sudah menembus beberapa Negara di Asia Tenggara.”
Ketika ditanya kiat-kiat sukses, Si Joko cuma bilang “saya cuma sering berdzikir dengan ya Kholik seribu kali”. Lho mosok dengan berdzikir saja. Padahal aku dan para calon sarjana muda berzikir ya ‘Alim sampai belasan tahun, tiap hari dari jam 07.00 WIB sampai 17.00 WIB dan ada yang lebih seperti jurusan mbah Enstein. Aku mungkin bisa maklum, karena selama belasan tahun aku diajari untuk membuang sampah pada tempatnya bukan mengolah sampah pada tempatnya. Iri rasanya melihat orang ini menjadi kaya, karena dia bisa bersodaqoh banyak, sedang aku masih mencari subjek dan predikat untuk sodaqoh dan objek untuk disodaqohkan.
Belum selesai aku berfikir tentang kontradiksi sosial ini. Terdengar suara dari setudio 1 “pesawat sederhana adalah bla…bla…bla…”. Siapa gerangan yang mengucapakan kata yang berulang-ulang lagi keras. O…. Ternyata mereka adalah kaum mbah Einstein. Kenapa pula mereka mengucapkannya berulang sampai ratusan kali. Apa benar untuk menghafalkannya. Ku tanya langsung pada dua orang itu.

“hey.. kenapa kalian ulang-ulang kata itu… mengganggu saja…”
“ya biar hafal Kang Athan…”
“tapi setelah ku ulang ratusan kali… kok aku jadi kepikiran… apa yo manfaatnya
buat ku… apa manfaatnya buat hidupku…”
2 “lho ya minimal biar bisa buat pesawat sederhana to… wong dihafalkan atau tidak
pesawat sederhana itu sudah sederhana dan sudah ada… ya tinggal kita berkreatif
dalam mengaktualisasikannya...”
“o…. ini maksudnya.. cerdas juga Si Joko ini…”
“sopo Joko itu…”
1 “orang yang lebih cerdas dari Eintein..”

Ngapain juga aku ngurusi dua orang ini, lebih baik aku lanjutkan nonton Si Joko. Bertanyaan bertubi-tubi dilontarkan. Si Joko tetap pada jawaban yang cenderung konstan dan apriori seolah tak ingin membagi kesuksesannya. Jawabanya sangat normatif dan banyak yang definitif.
Aku semakin heran, diluar sana banyak yang aktif memunguti sampah plastik. Mereka bangun lebih pagi dari matahari. Menyambung hidup hari ini tanpa tau hidup untuk besok. Kehidupan dalam marginalitas yang konsisten pada ke-proletar-an. Apa yang salah dari mereka. Aktif merupakan prinsip dasar atau bahkan basic need bagi mereka, sedang kreatif adalah qiyas. Dengan objek yang sama tetapi dengan predikat yang berbeda ternyata mampu membuat fluktuasi social yang begitu kentara.
Lalu aku harus bagaimana. Apakah kere tapi aktif, atau kreatif dan kaya. Sedang aku tidak punya banyak waktu untuk berdzikir ya Kholik karena waktuku benar-benar tersita untuk berdzikir ya ‘Alim. Untuk kejelasannya harus ada yang bertanggung jawab untuk semua ini. Minimal mereka yang duduk di Negeri Batavia harus mau menanggung dosaku akibat tidak sempat berdzikir ya Kholik seribu kali.



Malang, 21 Juni 2009

0 komentar:

Posting Komentar