Rabu, 23 Juni 2010

Balada Sebutir Nasi

Pekan sunyi telah tiba, sudah satu tahun aku di kota bunga ini. Tak terplesit pikranku tentang rumahku. Bahkan aku sudah lupa bau rumput halamanku. Entah mengapa rasa rindu menghinggap di hati. Akhirnya aku kembali. Banyak yang berubah dari kota soto ini, bisa dikatakan otonomi development telah berhasil. Tapi itu semua cuma kenampakan empiric, aku meragukan apakah keberhasilan itu sampai pada wilayah internalisasi dan akomodasi ekonomi. Karena sepanjang jalan tidak kurang dari 10 pengemis aku temui di kota ini. Itu baru dari plang selamat datang hingga halte bus yang pertama. Terlepas dari itu semua, yang jelas kota ini telah terlegitimasi dengan penghargaan otonomi award.

Sambutan hangat datang dari pintu rumah. Dan aku langsung menuju kamar untuk melepas lelah. Terbangun aku oleh panggilan Allah dikala subuh. Hari yang cerah dikampung halaman. Tak terasa hari sudah di jam 06.00 WIB. Lapar rasa perut ini, kalau di sini aku bagaikan raja. Semua makanan sudah tersaji sejak pagi dini, tidak seperti kala nomaden, untuk makan harus menunggu warung-warung makanan buka. Ku ambil nasi sebanyak porsi 2 atau 3 orang. Makanlah aku dengan lahap, tetapi ada beberapa butir nasi yang tak ku habiskan. Seketika Abah bilang,

“habiskan nasinya, jangan sisakan barang sebutir pun… Rosul itu selalu bersih kalau makan, sampai-samapai kita disunahkan untuk membersihkan makanan yang masih di jemari..”

“ya Bah, eman kalau tidak dihabiskan..”

“bukan karena itu…”

Dan Abah tidak melanjutkan ceramahnya.
Setelah makan aku pergi ke sawah. Rasa kangen ku akan hijaunya dunia membuatku ingin kesana. Melihat pepohonan yang masih perawan, rerumputan yang belum aneksploitasi, ikan sungai yang masih minum air zamzam. Sempat berfikir sampai kapan alam ini mampu bertahan dalam keserakahan Homo Sapiens. Kota-kota yang dulu hijau kini sudah menjadi gedung-gedung ala modernisasi. Tarzan sekarang telah diganti Spiderman. Sementara ini aku apriori sajalah, toh yang penting di kampus ku semuanya masih hijau. Hijau ideologinya, entah alamnya. Dzuhur menyapa. Betapa nikmatnya sholat tengah hari di tengah alam. Waktu berjalan. Sore menjelang dan panggilan telah dikumandangkan.

Sampai dirumah, Abah mengajakku diskusi tentang degradasi kultur shaleh social di umat Islam.

“kita ini kurang menghargai dan membantu antar sesama… ”

“kok gitu Bah, diluar sana banyak orang yang bersodaqoh dan saling membantu.. jadi kalau menurut ku umat ini sudah jauh lebih baik..”

“apa iya… itu hal yang besar… kalau kita menilai dari hal yang besar itu sudah biasa.. menilai Presiden dari kinerja dipemerintahan itu biasa, yang tidak biasa itu menilai Presiden dari bagaimana dia merawat anaknya, bagaimana dia membina keluarganya, bagaimana sikap dengan tetangganya.. karena kalau amanah dilaksanakan dengan sebaik-baiknya itu biasa tapi kalau tidak amanahnya dan dilaksanakan itu baru dinamakan kepedulian yang luar biasa.. hal besar itu berawal dari hal kecil…”

“wah.. kok mbulet Bah…”

“sederhananya seperti makan nasi tadi pagi… kalau makan harus dihabiskan bersih.. karena tiap satu butir itu ada perjuangan seribu orang..”

“seribu orang Bah ??… bukannya cuma satu orang… mbok Yem...”

“itu yang bagian finishing touch… dengarkan tenanan… nasi itu awalnya adalah padi, berapa orang yang tandur padi, berapa orang yang matun trus ngulami, berapa orang yang memanennya, berapa orang yang menjemur , belum yang nyeleb. Akhirnya jadi beras, dan berapa orang yang memasukkan dalam karung beras. Karung itu dari plastik, berapa pegawai pabrik yang membuat karung plastik itu, dan dari mana plastik itu, berapa orang yang terlibat dari proses bahan mentah hingga jadi plastik. Setelah masuk karung, beras didistribusikan, ratusan orang ikut berperan dalam pendistribusian ini. Kemudian sampailah beras itu dipiringmu. Semua itu baru dari beras, terus pekerja tadi pasti pakai baju, dari mana baju itu. Jika kau bisa menelusuri mungkin dalam satu butir beras ada perjuangan jutaan manusia. Makanya kalau makan yang bersih, dengan begitu kau sudah menghargai ribuan bahkan jutaan orang.. Mulailah dari hal yang kecil dan berfikirlah.. itu yang ingin diajarkan Rosul SAW dengan bersih dalam makan…”

“o… fahimna Bah…”

Tak berselang lama telefon bordering, ternyata itu dari orang nomor satu di kota ini. Dan Abah pergi begitu saja.





Lamongan, 22 Mei 2010

0 komentar:

Posting Komentar