Rabu, 23 Juni 2010

Bening Vs Putih

Minggu yang cerah dan indah. Awan terlihat bersahabat dengan menampakkan senyum birunya. Rerumputan bergoyang lakukan tarian alam. Kabut menutupi geramnya hutan dan memperindah puncak pegunungan. So soft itu kata yang terkesan hari ini. Berjalan setapak meniti hutan belantara. Ada keindahan yang tersembunyi, keindahan yang sunyi, kejujuran nurani dan sedikit kecamuk dalam hati tentang hakekat bening.

Terplesit akan pengakuan laqod kholaqnaa al insaana fii ahsaani taqwiimi. Melihat wajah-wajah penuh pahala. Senyum-senyum manis penakluk hati. Melihat jiwa penuh dosa. Rona-rona nafsu yang berada di bilik-bilik pepohonan yang berserakan. Diri yang bertingkah polah, memakan seluruh dunia. Melihat mentari terpantul dari tetesan embun pagi. Pribadi yang mensucikan. Seberapa bening hati ini atau seberapa putih hati ini.

Dan seputihnya pikiran ku berawal dari dimana aku besar dan mulai tahu arti bernafas. Aku ini manusia yang besar dan menyusu di peradaban hijau, peradaban yang dikata munafik dan haus kekuasaan. Dikata berpolitik hedonis, dan jika kepepet bertingkah apriori. Dikata beraliran liberal konstruktif. Dikata sering memproduksi barang setengah jadi atau barang jadi tetapi tak sesuai dengan netto. Aku tak sakit hati, aku sudah minum susunya. Aku bisa hidup karena Allah SWT mencukupkan aku lewat peradaban hijau itu.

Dan jikala aku mencintaimu, kamu dan kamu, kau pasti jadi urutan yang setelah peradaban hijauku. Yang membuatku terusik adalah saat dikata munafik. Apa itu munafik. Apa itu Non Blok. Apakah itu putih dan apalah pula itu bening.

Di peradaban hijauku aku diajari untuk menjadi putih dalam fikiran dan bening dalam hati serta kontemplasi. Berhati-hatilah jangan sampai terbalik dalam meletakkannya. Resapi betapa fatalnya jika kita membalikknya. Putih bukan munafik bukan pula Non Blok. Ia adalah nuansa ilhami, nuansa penuh kasih sayang, nuansa kepedulian.

Putih, dari sekian warna, putih lah yang paling menarik. Bahkan sang Pencipta pun tertarik padanya. Ibadah ikhrom harus memakai pakaian putih, sholat disunahkan mengenakan yang serba putih. Lihatlah putih, dia menyatukan warna yang awalnya berbeda menjadi satu dalam dirinya. Lihatlah putih yang selalu mencintai sesamanya, melengkapi kekurangan sesamanya, memperbaiki kesalahan sesamanya.

Sekejab aku berfikir tentang putih. Dia tidak munafik. Dia tidak menjadi hijau jika bersama si Hijau, dia tidak menjadi Biru kala bersama si Biru, dan tidak pula menjadi merah saat membaur dengan si Merah. Perhatikan putih yang menjadikan biru menjadi biru muda yang orang menganggapnya lambang kedamaian. Si Merah pekat di ubahnya menjadi pink yang orang menamainya dengan feminisme dan kelembutan. Si Hitam muram disulapnya menjadi hijau yang diperadaban hijauku, itu melambangkan Keimanan, KeIslaman, dan Kemakmuran. Dia selalu mewarnai dimana dia berada. Dia tidak ingin menjadi yang lain, ia tetap tegar dengan independensinya dan tidak melupakan sesamanya. Itulah putih yang diajarkan di peradaban hijauku. Putih lambang Kemurnian dan Kesucian Perjuangan.

Bening itu begitu indah, tapi jangan pernah berfikiran bening. Taukah kau apa itu berfikiran bening. Lihat si Bening. Jika dia bergaul dengan si Merah, ia akan menjadi apa. Jika dia bergaul dengan si Biru, ia akan jadi apa. Itulah munafik. Allah SWT sudah mengabarkan cirinya.

Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan: "Kami telah beriman." Dan bila mereka kembali kepada syaitan-syaitan mereka, mereka mengatakan: "Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok."

Di peradaban hijauku, bening diharuskan untuk hati. Hati yang bening senantiasa menerima kebenaran dari segala sudut. Dan dia tidak menyimpan untuk dirinya sendiri, sudah menjadi fitrahnya untuk memantulkan kebenaran. Kala hatimu kau putihkan, ia akan sulit ditembus cahaya dan kau tak pernah bisa memantulkan cahaya.

Akhir aku mulai sadari betapa luar biasa peradaban hijauku yang telah mengajariku memutihkan fikiran dan membeningkan hati. Mungkin hanya terima kasih yang bisa ku ucapkan. Padahal harusnya “jangan terus meminta ke peradaban hijauku, tetapi terus memberilah ke peradaban hijauku”.



Kepanjen, 23 Juni 2010

0 komentar:

Posting Komentar