Rabu, 23 Juni 2010

Perihnya Alkohol 100%

Kawan dua hari yang lalu aku pergi ke jalan Wilis. Semua orang pasti tahu tempat apa itu, apalagi mahasiswa dan kalau ada mahasiswa yang belum tahu berarti belum tuntas prinsip ekonominya. Di tempat itu bertaburan pengetahuan. Baik “pengetahuan bajakan” atau pun pengetahuan orisinil. Tepat dihari itu, tiba-tiba aku disindir oleh seorang teman “masak Kang Athan g’ punya Al Qur’an terjemah, profesional g’ sih jadi muslim ?”. Seketika aku langsung berangkat untuk membeli. Ya mungkin Allah SWT ingin menjewerku dengan lisan temanku yang sedikit ember.
Perjalanku sudah penuh dengan emosi. Sampailah aku di Wilis, tanpa bercakap aku menuju satu toko yang kelihatannya “menjual ayat Allah SWT”.

“ Pak, ada Al Qur’an terjemah ? ”, tanya ku dengan nafas ngos-ngosan.

“apa dek, alkohol… waduh… saya g’ jual alkohol”, cakap Si Bapak.

“Pak saya g’ cari alkohol, saya cari Al Qur’an terjemah”, kataku dengan senyum tak ikhlas.

“mungkin di apotik ada, adek salah tempat kalau cari disini”, jawab Si Bapak.

Kampret, orang ini kok mancing emosi banget. Rodhok sedeng emang otaknya. Tapi sabar itu jauh lebih penting. Belum ku tanggapi dia nyerocos lagi. Entah apa yang ada difikirannya.

“waah…, kalau sakitnya parah, lebih baik pakek alkohol 100% saja. Biar cepat sembuh”, ucap Si Bapak dengan senyum tak berdosa

“o… begitu ya Pak, ya Pak nanti alkoholnya saya beli di apotik. Tapi Al Qur’an terjemahnya ada kan Pak ?”, kataku.

“memang dek, kalau sakitnya parah terus dikasih alkohol pasti perih banget tapi habis itu langsung sembuh..”, jawab Si Bapak dengan sok akrab

Cengel bener orang ini. Rasanya pengen mbejek-mbejek.

“tapi kalau sakitnya g’ terlalu parah kalau dikasih alkohol ya g’ terlalu perih. Nah kalau g’ da sakitnya terus dikasih alkohol malah rasanya sejuk banget ibarat hidup ya tentram dan damai banget dalam hati”, tambah Si Bapak.

“bener banget Pak, semua orang kayaknya juga sudah tahu kalau kulit g’ da sakitnya terus dikasih alkohol itu sejuk dan dingin”, jawabku sambil pasang muka sok ramah.

Robbi kenapa Engkau mempertemukan aku dengan orang macam ini, tanyaku dalam hati. Dua langkah aku mundur, aku tengok kekanan dan kekiri. Tak terlihat satupun toko yang “menjual firman Allah SWT”. Ini memang kegilaan siang bolong. Tetapi sekali lagi sabar itu hasilnya jauh lebih manis dari madu.

“Pak, panjenengan ini ngerti apa g’, saya kesini cari Al Qur’an terjemah. Kita sedang ngomongin Al Qur’an terjemah Pak. Bapak dari tadi ngomong alkohol lah, sakit lah-perih-sembuh, tidak sakit-dingin-sejuk-damai. Nyuwun sewu ya Pak.. Bapak ini tunarungu ta…”, tanyaku memperjelas ke GJan ini.

“lho piye to iki... Siapa yang budek. Siapa juga yang ngomongin alkohol... Adek sedang mencari obat 100% to.. ya itu muqoddimahnya…”, jawab Si Bapak dengan muka ramah.

Aku menyerah, ku mundur, ku belokkan badanku. Mungkin lebih baik aku membeli di tempat lain saja sebelum aku ketularan ke-GJ-annya. Tiba-tiba datang belasan orang yang berpakaian putih berebut untuk bersalaman dengan bapak budek itu. Dan aku pun pulang dengan rasa heran.


Malang, 3 November 2008

Balada Sebutir Nasi

Pekan sunyi telah tiba, sudah satu tahun aku di kota bunga ini. Tak terplesit pikranku tentang rumahku. Bahkan aku sudah lupa bau rumput halamanku. Entah mengapa rasa rindu menghinggap di hati. Akhirnya aku kembali. Banyak yang berubah dari kota soto ini, bisa dikatakan otonomi development telah berhasil. Tapi itu semua cuma kenampakan empiric, aku meragukan apakah keberhasilan itu sampai pada wilayah internalisasi dan akomodasi ekonomi. Karena sepanjang jalan tidak kurang dari 10 pengemis aku temui di kota ini. Itu baru dari plang selamat datang hingga halte bus yang pertama. Terlepas dari itu semua, yang jelas kota ini telah terlegitimasi dengan penghargaan otonomi award.

Sambutan hangat datang dari pintu rumah. Dan aku langsung menuju kamar untuk melepas lelah. Terbangun aku oleh panggilan Allah dikala subuh. Hari yang cerah dikampung halaman. Tak terasa hari sudah di jam 06.00 WIB. Lapar rasa perut ini, kalau di sini aku bagaikan raja. Semua makanan sudah tersaji sejak pagi dini, tidak seperti kala nomaden, untuk makan harus menunggu warung-warung makanan buka. Ku ambil nasi sebanyak porsi 2 atau 3 orang. Makanlah aku dengan lahap, tetapi ada beberapa butir nasi yang tak ku habiskan. Seketika Abah bilang,

“habiskan nasinya, jangan sisakan barang sebutir pun… Rosul itu selalu bersih kalau makan, sampai-samapai kita disunahkan untuk membersihkan makanan yang masih di jemari..”

“ya Bah, eman kalau tidak dihabiskan..”

“bukan karena itu…”

Dan Abah tidak melanjutkan ceramahnya.
Setelah makan aku pergi ke sawah. Rasa kangen ku akan hijaunya dunia membuatku ingin kesana. Melihat pepohonan yang masih perawan, rerumputan yang belum aneksploitasi, ikan sungai yang masih minum air zamzam. Sempat berfikir sampai kapan alam ini mampu bertahan dalam keserakahan Homo Sapiens. Kota-kota yang dulu hijau kini sudah menjadi gedung-gedung ala modernisasi. Tarzan sekarang telah diganti Spiderman. Sementara ini aku apriori sajalah, toh yang penting di kampus ku semuanya masih hijau. Hijau ideologinya, entah alamnya. Dzuhur menyapa. Betapa nikmatnya sholat tengah hari di tengah alam. Waktu berjalan. Sore menjelang dan panggilan telah dikumandangkan.

Sampai dirumah, Abah mengajakku diskusi tentang degradasi kultur shaleh social di umat Islam.

“kita ini kurang menghargai dan membantu antar sesama… ”

“kok gitu Bah, diluar sana banyak orang yang bersodaqoh dan saling membantu.. jadi kalau menurut ku umat ini sudah jauh lebih baik..”

“apa iya… itu hal yang besar… kalau kita menilai dari hal yang besar itu sudah biasa.. menilai Presiden dari kinerja dipemerintahan itu biasa, yang tidak biasa itu menilai Presiden dari bagaimana dia merawat anaknya, bagaimana dia membina keluarganya, bagaimana sikap dengan tetangganya.. karena kalau amanah dilaksanakan dengan sebaik-baiknya itu biasa tapi kalau tidak amanahnya dan dilaksanakan itu baru dinamakan kepedulian yang luar biasa.. hal besar itu berawal dari hal kecil…”

“wah.. kok mbulet Bah…”

“sederhananya seperti makan nasi tadi pagi… kalau makan harus dihabiskan bersih.. karena tiap satu butir itu ada perjuangan seribu orang..”

“seribu orang Bah ??… bukannya cuma satu orang… mbok Yem...”

“itu yang bagian finishing touch… dengarkan tenanan… nasi itu awalnya adalah padi, berapa orang yang tandur padi, berapa orang yang matun trus ngulami, berapa orang yang memanennya, berapa orang yang menjemur , belum yang nyeleb. Akhirnya jadi beras, dan berapa orang yang memasukkan dalam karung beras. Karung itu dari plastik, berapa pegawai pabrik yang membuat karung plastik itu, dan dari mana plastik itu, berapa orang yang terlibat dari proses bahan mentah hingga jadi plastik. Setelah masuk karung, beras didistribusikan, ratusan orang ikut berperan dalam pendistribusian ini. Kemudian sampailah beras itu dipiringmu. Semua itu baru dari beras, terus pekerja tadi pasti pakai baju, dari mana baju itu. Jika kau bisa menelusuri mungkin dalam satu butir beras ada perjuangan jutaan manusia. Makanya kalau makan yang bersih, dengan begitu kau sudah menghargai ribuan bahkan jutaan orang.. Mulailah dari hal yang kecil dan berfikirlah.. itu yang ingin diajarkan Rosul SAW dengan bersih dalam makan…”

“o… fahimna Bah…”

Tak berselang lama telefon bordering, ternyata itu dari orang nomor satu di kota ini. Dan Abah pergi begitu saja.





Lamongan, 22 Mei 2010

Bening Vs Putih

Minggu yang cerah dan indah. Awan terlihat bersahabat dengan menampakkan senyum birunya. Rerumputan bergoyang lakukan tarian alam. Kabut menutupi geramnya hutan dan memperindah puncak pegunungan. So soft itu kata yang terkesan hari ini. Berjalan setapak meniti hutan belantara. Ada keindahan yang tersembunyi, keindahan yang sunyi, kejujuran nurani dan sedikit kecamuk dalam hati tentang hakekat bening.

Terplesit akan pengakuan laqod kholaqnaa al insaana fii ahsaani taqwiimi. Melihat wajah-wajah penuh pahala. Senyum-senyum manis penakluk hati. Melihat jiwa penuh dosa. Rona-rona nafsu yang berada di bilik-bilik pepohonan yang berserakan. Diri yang bertingkah polah, memakan seluruh dunia. Melihat mentari terpantul dari tetesan embun pagi. Pribadi yang mensucikan. Seberapa bening hati ini atau seberapa putih hati ini.

Dan seputihnya pikiran ku berawal dari dimana aku besar dan mulai tahu arti bernafas. Aku ini manusia yang besar dan menyusu di peradaban hijau, peradaban yang dikata munafik dan haus kekuasaan. Dikata berpolitik hedonis, dan jika kepepet bertingkah apriori. Dikata beraliran liberal konstruktif. Dikata sering memproduksi barang setengah jadi atau barang jadi tetapi tak sesuai dengan netto. Aku tak sakit hati, aku sudah minum susunya. Aku bisa hidup karena Allah SWT mencukupkan aku lewat peradaban hijau itu.

Dan jikala aku mencintaimu, kamu dan kamu, kau pasti jadi urutan yang setelah peradaban hijauku. Yang membuatku terusik adalah saat dikata munafik. Apa itu munafik. Apa itu Non Blok. Apakah itu putih dan apalah pula itu bening.

Di peradaban hijauku aku diajari untuk menjadi putih dalam fikiran dan bening dalam hati serta kontemplasi. Berhati-hatilah jangan sampai terbalik dalam meletakkannya. Resapi betapa fatalnya jika kita membalikknya. Putih bukan munafik bukan pula Non Blok. Ia adalah nuansa ilhami, nuansa penuh kasih sayang, nuansa kepedulian.

Putih, dari sekian warna, putih lah yang paling menarik. Bahkan sang Pencipta pun tertarik padanya. Ibadah ikhrom harus memakai pakaian putih, sholat disunahkan mengenakan yang serba putih. Lihatlah putih, dia menyatukan warna yang awalnya berbeda menjadi satu dalam dirinya. Lihatlah putih yang selalu mencintai sesamanya, melengkapi kekurangan sesamanya, memperbaiki kesalahan sesamanya.

Sekejab aku berfikir tentang putih. Dia tidak munafik. Dia tidak menjadi hijau jika bersama si Hijau, dia tidak menjadi Biru kala bersama si Biru, dan tidak pula menjadi merah saat membaur dengan si Merah. Perhatikan putih yang menjadikan biru menjadi biru muda yang orang menganggapnya lambang kedamaian. Si Merah pekat di ubahnya menjadi pink yang orang menamainya dengan feminisme dan kelembutan. Si Hitam muram disulapnya menjadi hijau yang diperadaban hijauku, itu melambangkan Keimanan, KeIslaman, dan Kemakmuran. Dia selalu mewarnai dimana dia berada. Dia tidak ingin menjadi yang lain, ia tetap tegar dengan independensinya dan tidak melupakan sesamanya. Itulah putih yang diajarkan di peradaban hijauku. Putih lambang Kemurnian dan Kesucian Perjuangan.

Bening itu begitu indah, tapi jangan pernah berfikiran bening. Taukah kau apa itu berfikiran bening. Lihat si Bening. Jika dia bergaul dengan si Merah, ia akan menjadi apa. Jika dia bergaul dengan si Biru, ia akan jadi apa. Itulah munafik. Allah SWT sudah mengabarkan cirinya.

Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan: "Kami telah beriman." Dan bila mereka kembali kepada syaitan-syaitan mereka, mereka mengatakan: "Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok."

Di peradaban hijauku, bening diharuskan untuk hati. Hati yang bening senantiasa menerima kebenaran dari segala sudut. Dan dia tidak menyimpan untuk dirinya sendiri, sudah menjadi fitrahnya untuk memantulkan kebenaran. Kala hatimu kau putihkan, ia akan sulit ditembus cahaya dan kau tak pernah bisa memantulkan cahaya.

Akhir aku mulai sadari betapa luar biasa peradaban hijauku yang telah mengajariku memutihkan fikiran dan membeningkan hati. Mungkin hanya terima kasih yang bisa ku ucapkan. Padahal harusnya “jangan terus meminta ke peradaban hijauku, tetapi terus memberilah ke peradaban hijauku”.



Kepanjen, 23 Juni 2010

Kiai Bayaran Vs Pembunuh Bayaran

Semua orang pasti kenal Joahn de Putte. Benar sekali, dia adalah pembunuh bayaran kelas kakap. Tiga hari yang lalu dia tertangkap oleh Inspektur Khan Prett di daerah Sumatra Tengah, tepatnya di desa Ngawang. Kalau orang melihat wajahnya, kesan seram yang pertama tersirat. Kulitnya hitam, rambutnya kriting, badannya besar, matanya merah dan telinganya kecil. Sudah 14 nyawa melayang gara-gara ke-jail-an tangannya. Caci-makian bahkan ludahan diterimanya saat dia diseret Inspektur Khan ke mobil travel khusus menuju hotel prodeo.
Tak habis pikir aku ini, nyawa sebanyak itu kok dihargai dengan murah. Seolah-olah dia telah menggantikan Tuhan secara temporal. Lama orang membicarakan figure manusia satu ini, bahkan sampai hari ini semua media massa masih membahasnya. Joahn de Putte Si Pembunuh Berdarah Dingin… Joahn de Putte Si Raja Tega… Joahn de Putte.. Joahn de Putte…. Judul-judul itu yang menghiasi headline news di setiap newspaper. Sampai-sampai orang lebih mengenal Joahn de Putte dari pada mengenal tetangganya sendiri. Malas rasanya aku membaca newspaper hari ini. Tapi mau bagaimana lagi, aku sudah langganan, kalau tak dibaca mubadzir nantinya.
Semakin ku baca semakin benci dan muak aku dibuatnya. Aku tak percaya ada orang sekejam ini. Dan sempat terfikir “adakah orang yang lebih sadis dari dia ?”. Mungkin ada, yaitu tukang fitnah. Karena di Al Furqon dikatakan fitnah itu lebih kejam dari pada pembunuhan. Tapi kenapa ?

“mungkin kalau pembunuhan fisik masih dalam konteks sejarah… yang dirugikan bersifat individual dan cenderung temporal solution”, jawabku dalam hati.

“lho kalau fitnah…”, tanyaku dengan dengkul.

“mungkin kalau fitnah itu pembunuhan karakter, ideology dan paradigma… orang sering lebih memilih kehilangan hal yang bersifat kebendaan dari pada kehilangan hal yang karakteristik dan paradigmatic.. ini adalah bukti kalau fitnah itu merupakan pembunuhan yang jauh lebih kejam dari pembunuhan fisik atau kebendaan…”, jawabku dalam hati.

“bener juga sih.. yang dirugikan juga banyak”, tegasku dengan dengkul.

“itu makanya.. kerugian dari fitnah cenderung komunal dan sporadic.. jadi intinya pembunuhan karakter dan ideology itu jauh lebih kejam dan fatal efeknya..”, jawabku dengan otak

“lha terus orang yang melakukan itu kayak gimana cirinya…”, tanyaku dalam hati.

“ciri pastinya aku kurang tahu, tapi biasanya orang ini memanfaatkan paradigma dan self image… misal saja yang harusnya bekerja di masjid malah memanfaatkan citra ke-ustadz-an untuk mempropaganda majelis pengajian dalam pemilu… ini benar-benar telah mematikan ideology sekaligus pembunuhan karakter..”, jawabku dalam lisan.

Wah.. dari pada aku semakin gila karena ngomong sendiri, lebih baik aku tutup newspaper ini. Masih banyak hal yang harus aku lakukan diluar sana.Tetapi tetap saja masih terplesit dalam relungku tanda tanya besar “Apa benar Kiyai Bayaran jauh lebih kejam dari pada Pembunuh Bayaran ?”



Kepanjen, 15 Juni 2010

Islam Cs Zaman

Luar biasa Indonesia ini, penghargaan terhadap budaya begitu kuat. Sampai budaya luar pun dipersilahkan masuk begitu saja tanpa saringan. Kadang pakai saringan tapi saringan yang dipakai masih level saringan tahu-tempe. Negeriku ini memang sensitive dengan budaya barat namun disisi lain masih jarang yang selektif. Negeri yang dulu berpijak pada sifat akulturalisasi malah tanpa sadar mereduksi budaya sendiri hingga kita tak bisa membedakan mana susu mana tajin, mana sirup mana jamu, mana gamelan mana orchestra.
Dulu orang menutup aurat dengan rapi, sekarang menutup aurat bagai hal yang tabuh. Di Tipi-Tipi, semua artis berpakaian begitu rapi seolah-olah kekurangan bahan, dan itu menjadi tren di kaum muda. Kesalahan yang menjadi mayoritas bisa membuat kebenaran menjadi kesalahan yang terkamuflase. Sekarang cewek yang memakai busana muslim dianggap ketinggalan zaman, sedang yang memakai hotpans dianggap modern. Begitu susahnya Edison mencipta lampu untuk menerangi, malah sekarang lampu sengaja dibuat redup. Orang bilang supaya terlihat romantis lampu harus redup lebih tepatnya remang-remang. Ada yang lebih parah, bukan hanya diredupkan tapi malah dihidup-matikan. Edi mungkin menangis melihatnya. Apa benar Islam dan injeksi kulturalistiknya sudah ketinggalan zaman. Zaman yang mengikuti Islam atau Islam yang harus mengikuti zaman, atau mungkin mereka memang variable bebas. Yang tak sedikitpun punya toleransi-korelasi. Mana yang menjadi eksogen dan mana yang menjadi endogen.
Kalaulah zaman harus mengikuti Islam, mau jadi apa zaman. Islam itu agama peradaban, ia menstimulus development peradaban. Jika zaman yang mengikuti Islam maka pastilah zaman akan stagnan. Dimensi waktu saja yang terus berjalan sedang isinya akan tetap saja. Ajaran-ajaran Islam sacral tak bisa dirubah dan dikembangkan. Islam ya Islam, Islam bukan peradapan zaman. Islam hanya mantij al taqofah.
Kalaulah Islam yang mengikuti zaman, maka akan terjadi distrek-distrek dalam ritus dan multitafsir akan ajaran Islam itu sendiri. Apakah karena sekarang abad 21, abad yang serba sibuk, maka sholat yang lima waktu dapat diganti menjadi satu waktu. Apakah karena sekarang tahun 2009, tahun yang penuh dengan mode maka jilbab harus dibahas ulang. Apakah karena dewasa ini perekonomian dunia membaik maka zakat minimal bukan 3 kg tapi 10 kg. Dilemma sekali dunia ini.
Lalu harus dimana posisi Islam itu. Di kanan, kiri, tengah, depan, belakang, atas, bawah atau dimana.
Kalaulah aku boleh menagambil jalan wasathon. Aku akan dengan tegas mengatakan posisi Islam itu mendampingi dan menjaga zaman. Biarlah aku berjalan maju atau bahkan berlari secepat mungkin, tetapi kau harus mendampingiku. Jika nanti aku melenceng dari territorial ku atau khittah ku, kau yang akan membawaku kembali. Engkau juga harus menjagaku, kala aku mulai terstimulus dengan godaan yang akan menjauhkan dari fitrah ku, kau yang mengcounter pertama kali. Nasehati aku jika aku mulai mlempem saat berjalan maju. Motivasi aku agar aku tidak lelah untuk terus berlari kedepan sampai mendekati idealitas. Itulah aku, akulah zaman dan kau, engkaulah Islam.
Jangan pisahkan dua sekawan ini, atau kehancuran di depan matamu. Sekawan yang harus berjalan beriringan. Mungkin hanya orang bodoh yang mau memisahkan sekawan ini. Tapi entah mengapa di luar sana begitu banyak orang yang berfikir sekuler. Merasa besar tanpa Islam, dan merasa cukup dengan zaman. Mari, coba kita lihat sampai kapan mereka mampu bertahan dalam kegalauan.

Malang, 18 November 2009

Signal-Signal Cinta

Syukur Alhamdulillah, Allah SWT masih memberikan aku ijin untuk melihat fajar kadib pagi ini. Dalam setengah sadarku aku berjalan menuju tempat wudlu. Kujalani laporan pertamaku hari ini. Tak cukup sampai disitu, ku ikuti sekalian kajian tematik pagi ini. Tema bahasannya adalah solawat. Ustadz mulai berkoar-koar dengan semangat kemerdekaan ideology, seolah dia baru diangkat menjadi Rosul kemaren sore.
Selesai kajian aku kembali ke kamar. Teman sekamarku masih dikamar, dia tidak ikut kajian. Seperti biasa, alasannya beda prinsip. Aneh memang hidup ini, prinsip itu harusnya menguatkan ukhuwah , bukan mem-partisi kelompok atau bahkan mendistorsi definisi-definisi ritus agamis, tapi apalah guna teori kalau fakta lapangan memang ber-negasi. Hasil kajian itu menjadi kutu di otakku, semakin gatal rasanya kala aku memikirkan ulang. Timbul pertanyaan jail dari otakku “kenapakah kita harus bersolawat untuk beliau, padahal Kanjeng Nabi itu sudah pasti masuk surga..”

“Wah.. percuma kau ikut kajian, kenapa tidak kau tanyakan ke ustadz culun tadi..”

“kalau tanda tanya besar ini barusan adanya, tadi masih jadi gelas kosong yang siap diisi.. nah sekarang aku jadi lilin yang harus dinyalakan…”

“analogi sederhananya gini, Kanjeng Nabi itu bagaikan gelas kecil yang penuh dengan air, gelas itu diletakkan di tengah ember kosong. Saat gelas kecil itu terus diisi air, pasti akan amber. Air yang meluap itu pasti jatunya ke ember. Taukah kau.. ember itu adalah kita ini, dan cara mengisi gelas tidak ada lain kecuali dengan solawat..”

“mantep juga logikamu… kalau begitu aku g’ usah bersolawat saja..”

“lo.. kau tak mau dapat air luapan dari gelas ta…”

“katamu tadi, gelasnya penuh.. kalau memang penuh, sekalipun diisi dengan satu tetes pasti akan amber to.. luapannya pasti dibagi rata di dasar ember... Katanya anak-anak kader fisika, itu ma udah menjadi fitrah dari benda cair.. iya to..”

“ealaaah… Kang Athan - Kang Athan wong edan kowe iki… ada saja celah ikhtilaf-nya... lah terus menurutmu piye..”

“solawat itu antenna penangkap signal-signal cinta dari Kanjeng Nabi… he.. he..”

“we… e… puitisnya mulai… trus hubungnnya piye…”

“dimana-mana kalau ingin mendapat banyak signal cara yang paling top markotop adalah memperbanyak, mempertinggi, atau meningkatkan kualitas antenna... yo opo ora.. nah.. solawat itulah antenna… meski Kanjeng Nabi sudah wafat jasadnya, tapi cintanya masih bertebaran dimana-mana, cinta itu salah satunya do’a Kanjeng Nabi untuk umatnya. Orang yang bersolawat untuk Kanjeng Nabi, ia akan menangkap signal- signal cinta itu…”

“berarti yang banyak pasang antenna pasti dapat banyak signal cinta.. gitu yo… sepakat aku.. jadi adil g’ koyok luapan air tadi...”

“dan yang paling penting adalah antennanya… karena sering terjadi iftirokh hingga menyebabkan firqoh-firqoh gara-gara antenna ini… Kalau di iklan-iklan antenna yang bagus itu kan yang lima jari, tapi empat jari atau tiga jari juga bisa menangkap signal… Cuma mungkin tidak sekuat yang lima jari, jadi antenna tiga, empat, dua atau bahkan satu jari itu bukan bid’ah syar’i… hal substansial adalah eksistensi antenna itu sendiri, asal masih antenna pasti bisa menangkap signal”

“ancene… logikamu mantep tenan... gedabruss mode on…”

“zzzzz… okhrr…okhrrr…. ooookhrrr”

“jan akeh tenan kebo kaki loro di dunia ini……”

Sekejab pikiranku buyar brantah gara-gara terdengar suara dengkuran yang keras dari orang idealis premordial di sampingku ini. Sedang aku masih berdiri sendiri melihat diriku di depan kaca dan aku tersenyum puas.


Malang, 5 Februari 2008

Kreatif > Kere Aktif

Panas sekali udara hari ini, ditambah lagi panas pula otakku. Lebih baik aku cari sedikit hiburan. Tapi hiburan apa. Mau ke bioskop g’ ada uang. Mau ke Matos nanti dikira mahasiswa yang murtad dari idealisme. Sejenak berjalan ke belakang, dan aku melihat TV tua dengan antena yang kontra teknilogi. Tak ada rotan akar pun jadi. Ya.. mungkin dengan nonton TV itu cukup sebagai hiburan. Ku nyalakan TV dan yang muncul adalah siaran berita. Mengabarkan tentang orang kaya baru.
Pembawa berita mulai nyerocos.
“Si Joko, orang kaya baru. Dia bukanlah sarjana muda, bahkan mimpi untuk jadi sarjana saja tidak. Lalu apa yang bisa membuat dia sukses. Ternyata dia mampu mengolah sampah plastik menjadi tas dan dompet yang unik. Pasarannya sudah menembus beberapa Negara di Asia Tenggara.”
Ketika ditanya kiat-kiat sukses, Si Joko cuma bilang “saya cuma sering berdzikir dengan ya Kholik seribu kali”. Lho mosok dengan berdzikir saja. Padahal aku dan para calon sarjana muda berzikir ya ‘Alim sampai belasan tahun, tiap hari dari jam 07.00 WIB sampai 17.00 WIB dan ada yang lebih seperti jurusan mbah Enstein. Aku mungkin bisa maklum, karena selama belasan tahun aku diajari untuk membuang sampah pada tempatnya bukan mengolah sampah pada tempatnya. Iri rasanya melihat orang ini menjadi kaya, karena dia bisa bersodaqoh banyak, sedang aku masih mencari subjek dan predikat untuk sodaqoh dan objek untuk disodaqohkan.
Belum selesai aku berfikir tentang kontradiksi sosial ini. Terdengar suara dari setudio 1 “pesawat sederhana adalah bla…bla…bla…”. Siapa gerangan yang mengucapakan kata yang berulang-ulang lagi keras. O…. Ternyata mereka adalah kaum mbah Einstein. Kenapa pula mereka mengucapkannya berulang sampai ratusan kali. Apa benar untuk menghafalkannya. Ku tanya langsung pada dua orang itu.

“hey.. kenapa kalian ulang-ulang kata itu… mengganggu saja…”
“ya biar hafal Kang Athan…”
“tapi setelah ku ulang ratusan kali… kok aku jadi kepikiran… apa yo manfaatnya
buat ku… apa manfaatnya buat hidupku…”
2 “lho ya minimal biar bisa buat pesawat sederhana to… wong dihafalkan atau tidak
pesawat sederhana itu sudah sederhana dan sudah ada… ya tinggal kita berkreatif
dalam mengaktualisasikannya...”
“o…. ini maksudnya.. cerdas juga Si Joko ini…”
“sopo Joko itu…”
1 “orang yang lebih cerdas dari Eintein..”

Ngapain juga aku ngurusi dua orang ini, lebih baik aku lanjutkan nonton Si Joko. Bertanyaan bertubi-tubi dilontarkan. Si Joko tetap pada jawaban yang cenderung konstan dan apriori seolah tak ingin membagi kesuksesannya. Jawabanya sangat normatif dan banyak yang definitif.
Aku semakin heran, diluar sana banyak yang aktif memunguti sampah plastik. Mereka bangun lebih pagi dari matahari. Menyambung hidup hari ini tanpa tau hidup untuk besok. Kehidupan dalam marginalitas yang konsisten pada ke-proletar-an. Apa yang salah dari mereka. Aktif merupakan prinsip dasar atau bahkan basic need bagi mereka, sedang kreatif adalah qiyas. Dengan objek yang sama tetapi dengan predikat yang berbeda ternyata mampu membuat fluktuasi social yang begitu kentara.
Lalu aku harus bagaimana. Apakah kere tapi aktif, atau kreatif dan kaya. Sedang aku tidak punya banyak waktu untuk berdzikir ya Kholik karena waktuku benar-benar tersita untuk berdzikir ya ‘Alim. Untuk kejelasannya harus ada yang bertanggung jawab untuk semua ini. Minimal mereka yang duduk di Negeri Batavia harus mau menanggung dosaku akibat tidak sempat berdzikir ya Kholik seribu kali.



Malang, 21 Juni 2009