Sabtu, 12 Desember 2009

Politisasi Penegak Hukum

Ada kisah sukses, tantangan, dan hambatan dalam pemberantasan korupsi.

Sukses harus dikelola dan disebarluaskan agar kepercayaan publik meningkat. Tantangan harus dijadikan spiritualitas untuk bekerja all out, prudent, profesional dengan integritas tinggi. Hambatan harus dieradikasi, ditekan, dimasalahkan agar tidak berkembang, tidak merusak dan membuat pemberantasan korupsi kian kehilangan arah.

Konferensi Internasional ke-13 Antikorupsi yang dihadiri 135 negara baru saja digelar di Athena, 30 Oktober-2 November 2008. Agenda yang diangkat, ”Corruption and Sustainable Development”, dengan tema beragam, mulai dari penyebab dan dampak korupsi terkait krisis keuangan, sumber daya alam dan energi, perubahan cuaca, hingga globalisasi korupsi.

Isu yang mendapat perhatian serius terkait peningkatan kualitas ancaman, intimidasi, dan harassment yang harus dihadapi para pegiat antikorupsi. Hal ini terkait kelemahan kerangka hukum dan keterbatasan ruang gerak masyarakat sipil untuk mengontrol penggunaan kewenangan penegak hukum yang potensial abuse of power.

Pertemuan kepentingan

Konferensi juga memberi perhatian Nuhu Ribadu, mantan Ketua Economic and Financial Crimes Commission (EFCC) Nigeria yang dikenal profesional dan menjaga integritas dalam menjalankan tugasnya. Dalam kesimpulan, konferensi meminta Pemerintah Nigeria dan komunitas global antikorupsi mengambil tindakan segera atas ancaman dan tindak kekerasan fisik yang bisa dilakukan terhadap Nuhu.

Kondisi itu, pada sebagian negara—khususnya yang belum mampu mencegah aparaturnya dari politik uang, kepentingan privat dan sepihak penegak hukum—punya modus sama dengan pola agak berbeda. Ancaman kekuasaan bagi pegiat antikorupsi dilakukan kekuasaan dan lembaga penegak hukum yang melakukan instrumentasi hukum dengan menggunakan kewenangan jabatan publiknya. Ini tindakan berbahaya karena bisa dilakukan secara sistematis dan berdaya rusak tinggi.

Pada proses itu, tidak hanya potensial terjadi enginering pada saksi dan bukti, tetapi juga dilakukan kampanye ”terselubung” untuk membangun justifikasi bahwa apa yang dilakukan untuk dan atas nama hukum dan kepentingan negara.

Pada konteks itu terjadi politisasi penegakan hukum, dengan melakukan instrumentasi hukum, mulai dari penyidikan hingga pengadilan, bisa karena masalah yang bersifat personal atau social jealous kelembagaan.

Penyebab yang amat mengkhawatirkan adalah bertemunya kepentingan para koruptor dan konglomerat hitam yang dananya tak terbatas, memiliki akses dan relasi politik yang kuat dengan kepentingan ”naif” dari aparatur dan lembaga penegakan hukum.

Indonesia beruntung mempunyai KPK dan pegiat antikorupsi. Namun, beban KPK menjadi amat berat karena masifitas korupsi yang amat luas. Aparat, pimpinan KPK, dan pegiat antikorupsi berpotensi dijadikan ”Nuhu Ribadu” bila tidak ditopang peningkatan integritas lembaga penegakan hukum lainnya.

Indonesia belum bebas

De facto, Indonesia belum bebas dan masih rentan karena potensial terjangkit sindrom politisasi penegakan hukum. Ketika pemerintahan otoriter berkuasa, politisasi penegakan hukum biasa terjadi. Dalam pemerintahan reformasi yang sedang pada tahap transisi politik, perilaku koruptif bisa menjadi virus politisasi penegakan hukum dengan kualitas yang mungkin lebih ”dahsyat”. Asumsinya, kejahatan selalu bermetamorfosis membangun modus baru kejahatan dengan daya rusak kian tinggi. Metode kerja yang lebih civilized dan legal nuance menjadi salah satu strategi yang dilakukan.

Indikasi lain politisasi dapat dilihat dari pilihan kasus yang ditangani penegak hukum. Khususnya, bila lembaga penegak hukum terus menghindar untuk menangani kasus-kasus yang berdampak besar bagi kemaslahatan rakyat. Pada konteks Indonesia, upaya sengaja dan sistematis yang tidak menangani BLBI yang jelas menghancurkan sistem finansial dan kebangkrutan pemerintahan adalah indikasi politisasi hukum, apalagi jika penegak hukum bersikap menjadi ”pembela” para obligor nakal dan konglomerat hitam yang merugikan rakyat, bangsa, dan negara. Juga termasuk, lembaga penegak hukum yang mencari-cari kasus dan kesalahan perkara yang masih debatable untuk dituduhkan sebagai tindak korupsi.

0 komentar:

Posting Komentar