Sabtu, 12 Desember 2009

Intelektual Muslim Indonesia

Intelektual (atau juga populer dengan istilah 'cendekiawan') Muslim Indonesia memiliki sejarah yang panjang. Agaknya menarik untuk melihat bagaimana pandangan orang luar mengenai berbagai aspek kaum intelektual Muslim Indonesia, dan khususnya tentang peranan mereka. Tidak hanya dalam kehidupan keislaman di Tanah Air, tetapi juga dalam kehidupan sosial, politik, dan kenegaraan Indonesia.

Dalam kaitan itu, buku karya Howard M. Federspiel, Indonesian Intellectuals of the 20th Century (Singapura: ISEAS, 2006) menjadi sebuah literatur penting, meski ia hanyalah sebuah buku yang relatif tidak tebal. Federspiel adalah guru besar emeritus pada Ohio State University, yang juga lama berkecimpung pada Institute of Islamic Studies, Mc Gill University, Montreal, Kanada. Federspiel lama pula dikenal sebagai Indonesianis yang meneliti dan menulis tentang wacana dan gerakan Persatuan Islam (Persis).

Pembicaraan tentang intelektual Muslim mestilah dimulai dengan perjalanan historis tradisi intelektual Islam yang jelas sangat kaya. Kemunculan mereka terkait perkembangan pusat-pusat keagamaan, keilmuan, dan kebudayaan Muslim. Dan di Indonesia, kemunculan kaum intelektual itu bisa dilacak bakan sejak pembentukan masyarakat Muslim dan kekuatan politik Islam sejak abad ke-15, 16, 17, dan seterusnya; masa-masa kejayaan berbagai kesultanan di Indonesia.

Tapi, siapakah yang sebenarnya orang atau kaum intelektual itu. Ini merupakan perdebatan yang panjang di kalangan para ahli. Tetapi, Federspiel mengartikan 'intelektual' sebagai orang-orang yang bergumul dengan nilai-nilai masyarakat, bangsa, atau kemanusiaan. Seorang intelektual adalah orang yang peduli pada dinamika dan perkembangan masyarakat, dan berusaha memberikan panduan tentang bagaimana seharusnya nilai-nilai yang luhur bisa terwujudkan dalam kehidupan.

'Intelektual' Muslim dengan karakter seperti itu --seperti dikemukakan Federspiel-- hampir selalu transenden di atas berbagai masalah agama, sosial, kebudayaan, dan politik. Dia sebaliknya, memusatkan minat dan perhatiannya pada tujuan bagaimana agama dapat lebih fungsional dalam masyarakat Muslim. Intelektual adalah orang yang memiliki pandangan dan misi tertentu, yaitu membuat nilai dan pelajaran Islam dapat bekerja baik dalam berbagai tren sosial, budaya, politik, dan sebagainya.

Sebab itu, 'intelektual' atau cendekiawan bukanlah orang yang 'berumah di atas angin', yang jauh terasing dari masyarakatnya; yang sibuk dengan pengembaraan wacana dan intelektualisme belaka. Sebaliknya, justru ia selalu mengorientasikan intelektualisme atau kecendekiawanannya untuk kepentingan masyarakatnya.

Dari perspektif ini, maka 'intelektual' berbeda dengan 'sarjana' (scholar) atau 'intelegensia', yakni orang yang lebih sibuk semata-mata dengan pencarian dan pengembaraan keilmuan dan akademis, yang bukannya tidak sering sangat sempit. Meski begitu, banyak juga 'sarjana' atau 'inteligensia' adalah juga intelektual sekaligus, ketika mereka dapat keluar dari kungkungan minat keilmuan yang sempit tersebut.

Federspiel juga membuat pembedaan antara 'intelektual' dan 'sarjana' dengan 'pemimpin' (leader), yang memiliki keinginan dan kemampuan memobilisasi massa apakah untuk kepentingan dirinya sendiri atau kelompok tertentu. Dalam pengamatan saya, sering sekali, 'pemimpin' terkait dengan politik apakah langsung atau tidak. Pemimpin seperti itu tidak jarang pula berasal dari lingkungan intelektual; mereka adalah intellectual turned-politician, yang dapat kehilangan karakter dan watak intelektualnya.

Dalam kesimpulan Federspiel, wacana intelektual Muslim Indonesia modern merupakan salah satu arus utama pemikiran keagamaan dan politik negeri ini sejak awal abad ke-20. Karena itu, penciptaan dan penguatan negara-bangsa Indonesia selalu menjadi fokus pokok pemikiran dan wacana mereka. Tetapi penting dicatat, tulis Federspiel, konstruk intelektualisme mereka hampir sepenuhnya konsisten dengan pandangan-pandangan (notions) yang telah mentradisi dalam sejarah intelektual Suni.

Federspiel benar. Tetapi, konstruk intelektualisme mereka tidak selalu bisa dipahami sepenuhnya oleh kalangan masyarakat Muslim Indonesia sendiri. Dalam perjalanan sejarah intelektual Muslim Indonesia, bahkan tidak jarang kalangan Muslim tertentu mempersoalkan konstruk dan wacana intelektualisme mereka; bukan tidak sering, pemikiran mereka malah diplesetkan dan dipelintir. Apa yang sebenarnya tidak mereka katakan dan maksudkan, dipelintir sedemikian rupa guna menciptakan kesan di depan publik Muslim, bahwa intelektual Muslim tersebut telah 'menyimpang'.

Menghadapi hal seperti itu, tampaknya banyak intelektual Muslim Indonesia lebih banyak bersabar dan mengurut dada. Memang, melayani pandangan dan sikap yang lebih didasari bias dan su' al-dzan hanyalah tindakan kontraproduktif.




Satu lagi untuk HMI....

0 komentar:

Posting Komentar